Sultan Agung merupakan seorang yang sangat besar sekali
cita-citanya untuk menyatukan seluruh tanah Jawa untuk menghadapi VOC. Beliau
pernah menyerang Batavia beberapakali walaupun belum berhasil sampai akhir
hayatnya. Sultan Agung meninggal pada tahun 1654, dan kemudian digantikan oleh
Pangeran Ario Prabu Adi Mataram yang bergelar Amangkurat I (Amangku: memangku,
Rat: Bumi). Jika Sultan Agung berusaha membangun suatu filsafat kenegaraan
dengan menggabungkan Tauhid Islam dengan segala macam khurafat Hindu/Buddha,
namun hal ini tidak ditemukan pada Amangkurat I yang lebih keras sikapnya pada
Islam. Para Ulama di pesisir tidak mau mengakui bahwa raja Amangkurat I merupakan
mutlak wakil Tuhan untuk memerintah alam. Para Ulama lebih menyukai cara
pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, yakni para Ulama diberi
kebebasan lebih dalam menyiarkan dan menegakan agama Islam. Semesti Raja tidak
hanya menenangkan hati golongan di luar Islam, sehingga kemajuan Islam
terhambat. Apalah artinya tanah Jawa menerima Islam sebagai agama, namun hukum
Islam belum dijalankan, bahkan upacara-upacara agama Hindu/Buddha masih
dilakukan. Sehinnga, didorong oleh jiwa Tauhid yang bergelora dalam dadanya,
para Ulama kadang-kadang bersikap “kurang ajar”. Mereka datang ke istana
menggunakan “pakaian arab” memakai serban, jubbah, tasbih di tangan dan tidak
mau sujud menyembah kepada “Ingkang Sinuhun” (yang disembah) Sultan Amangkurat
I.
|
Amangkurat I |
Terdapat perbedaan yang besar antara Sultan Agung
dengan Amangkurat I. Sultan Agung dapat membawakan dirinya dengan baik dalam
kalangan para Ulama, sedangkan Amangkurat I sangat benci melihat para Kiyai
tersebut yang sombong, tidak mengenal hormat dan sering berbicara terus terang
dihadapan raja dan tidak mempedulikan tata-bahasa istana yang mencakup 5
tingkatan. Kalau ditanya mengapa demikian, mereka menjawab "sedangkan
kepada Allah SWT, kami hanya mengucapkan engkau saja (anta), bagaimana mungkin kepada
Raja kami akan mengucapkan lebih daripada itu?" Apakah yang diinginkan
baginda? Yang diinginkan baginda ialah agar Islam yang tegas tersebut tidak
diajarkan kepada rakyat. Ulama tidak boleh berhadapan langsung dengan
masyarakat, yang bertanggung jawab menghadapi rakyat cilik hanyalah lurah,
kemudian carik, dari carik ke camat, camat kepada wedana atau demang, kemudian
bupati atau adipati, selanjutnya baru kepada”Kanjeng Gusti Ingkang Sinuhun”.
Sedangkan Ulama yang sah, hanyalah yang resmi dalam pemerintah (Jogosworo), dan
kerjanya hanya mengurus masjid, tinggal disekitar Kauman, jama’ahnya pun hanya
diperbolehkan 40 orang. Apabila ajaran para Ulama sampai kepada rakyat kecil,
kacaulah pemerintahan karena hilangnya ketaatan masyarakat kepada Raja.
Pada akhirnya pertentangan antara para Ulama dengan
Amangkurat I semakin meruncing, sehingga Susuhunan memerintahkan untuk
menangkap seluruh Kiyai dan Santri dalam wilayah Mataram yang kurang lebih
sekitar 7.000 orang dan dihukum gantung.
Hanya Ulama yang diakui Keraton yang boleh hidup, sedangkan yang sempat
melarikan diri, terus lari ke daerah lain.
Di sisi lain, setelah meninggalnya Sultan Agung, VOC
mulai bergerak dan mengatur rencananya untuk menguasai Mataram. VOC sudah dapat
menguasai Banten, Ambon, Ternate dan Makassar, sedangkan Hitu (Maluku) yang
merupakan lapangan perniagaan orang-orang Jawa, sejak daerah tersebut dikuasai
oleh VOC mengakibatkan Jawa menjadi miskin. VOC kemudian dating dengan
mengajukan perjanjian, bahwa VOC mengakui keagungan Mataram, dan VOC
mengirimkan delegasinya setiap tahun ke Mataram sebagai tanda persahabatan.
Akan tetapi, apabila orang Mataram hendak ke wilayah yang dikuasai oleh VOC
haruslah dengan izin dari VOC. Hal ini menyebabkan rasa tidak puas dari
masyarakat terutama dari wilayah pesisir, para Ulama memandang Amangkurat I
merupakan mush Islam.
Di Madura muncul rasa dendam terhadap Mataram, apalagi
Cakraningrat II sebagai adipati Madura lebih dekat hatinya ke Mataram daripada
ke Madura. Jodoh yang dipilih merupakan puteri dari Mataram bukannya puteri
dari Madura. Menjadi Adipati di Madura tetapi sangat jarang berada di Madura,
dan jika pulang membawa adat-istiadat Mataram yang sangat berat dan tidak
sesuai dengan jiwa orang Madura
|
Karaeng Galesong |
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang sangat
merugikan Makassar menimbulkan rasa tidak puas dari kalangan masyarakat.
Perahu-perahu Makassar boleh berlayar hanya dengan izin dari VOC. Hanya VOC yang
boleh memasukan kain-kain dan barang-barang dari Tiongkok ke Makassar. Selain
itu, Makassar juga diwajibkan membayar ganti rugi perang kepada VOC. Lebih
menyakitkan lagi karena yang dijadikan alat untuk menaklukan dan mengalahkan
Makassar ialah anak Bugis sendiri yakni Aru Palaka yang merupakan anak Raja
Sopeng. Dari situlah kemudian banyak pahlawan Bugis dan Makassar yang
mengembara meninggalkan kampong halamannya dengan perasaan sedih. Mereka pergi
ke Jawa, baik Jawa Timur atau Jawa Barat dan dimana saja daerah yang melakukan
perlawanan terhadap VOC, dengan tanpa berpikir panjang mereka turut membantu
berjuang melawan VOC. Diantara mereka terdapat nama-nama besar seperti Syekh
Yusuf yang menjadi Mufti Kerajaan Bantem pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa.
Selain itu, ada Karaeng Galesong yang bertemu Trunojoyo di Madura dan melakukan
perlawanan terhadap VOC.
Rasa tidak puas para Ulama di bawah pimpinan Giri,
bertambah dengan rasa sakit hati dari Karaeng Galesong dan kecewanya masyarakat
Madura terhadap Adipati Cakraningrat II inilah yang berkumpul menjadi satu
untuk mengobarkan “Perang Trunojoyo” yang tercatat dalam sejarah pada abad
ke-17.Trunojoyo merupakan anak bangsawan Madura dan dianggap sebagai pemimpin
Perang Sabil. Jika pada masa Sultan Agung, musuh utamanya ialah VOC, dan VOC membantu Adipati Surabaya untuk melawan
Mataram, sekarang keadaannya menjadi terbalik. Hidup-mati dan naik-turunnya
Mataram sejak pemerintahan Amangkurai I merupakan hasil belas kasih dari VOC.
Tentara Matamam dibantu oleh tentara VOC berbaris rapat untuk untuk menghadapi
perlawanan dari Trunojoyo. VOC tidak membantu dengan Cuma-Cuma, untuk itu
Amangkurat I terpaksa mengorbankan kemerdekaan Mataram. VOC berjanji akan
membantu sampai menang dengan bayaran 250.000 rial dan 3.000 pikul beras.
Apabila perang berlangsung lebih lama, maka Susuhunan harus menambah biaya
20.000 rial lagi. Selain itu, VOC harus dibebaskan dari cukai pajak memasukan
barang-barang impor di seluruh pelabuhan Mataram. VOC juga berhak mendirikan
kantor (loji) dan mendapat bayaran 4.000 pikul beras menurut harga pasar.
Setelah perjanjian tersebut disetujui oleh Amangkurat
I, VOC kemudian mengirimkan tentara di bawah pimpinan Speelman untuk menghadapi
gabungan tiga pahlawan yakni Trunojoyo, Karaeng Galesong dan Pangeran Giri.
Spellman yang merupakan otak dibalik perjanjian Bongaya, memainkan siasatnya
disamping perang menggunakan senjata. Akan Tetapi, Trunojoyo merupakan orang
yang sangat keras pendiriannya dan tidak dapat ditawar, laksana pegunungan
kapur yang ada di Madura. Setiap pertempuran yang dijalaninya selalu membawa
kemenangan yang mengakibatkan VOC semakin terdesak. Wilayah yang dikuasainya
semakin luas, hampir seluruh pesisir Jawa dapat direbutnya. Perlawanan pun timbul di berbagai daerah,
seperti Banten dan Priangan di Jawa Barat bahkan hingga Kediri di Jawa Timur
menyatakan terang-terangan bergabung dengan Trunojoyo.
Di ibu kota sendiri, bertambah kebencian masyarakat
terhadap Susuhunan Amangkurat I. Dengan terang-terangan mereka berani memuji
Trunojoyo di hadapan Baginda. Baginda dianggap mendapat “karma” dari para kiyai
dan santri yang baginda bunuh. Selain itu, Raden Kejoran yang merupakan orang
kepercayaan Susuhunan, tiba-tiba menghilang dari ibu kota dan kemudian pergi ke
Kediri untuk bergabung dengan tentara Trunojoyo. Sangatlah besar tekanan yang
dirasakan oleh Amangkurat I, negeri sendiri terjual, rakyat menjadi benci, para
Ulama menghujat, sehingga pada akhirnya jiwa beliau terganggu dan memutuskan
untuk keluar meninggalkan Istana secara diam-diam. Ke luarnya Susuhunan dari
istana dipandang melanggar adat-istiadat Mataram, karena istana tempat baginda
bersemayam dipandang memancarkan “Shri” atau “Syakti” berupa sinar simbol
kegemilangan Mataram. VOC yang mengetahui hal ini dengan segera mengangkat
Pangeran Adipati Anom (Amangkurat II) untuk menggantikan Amangkurat I.
|
Amangkurat II |
Sebelum
Amangkurat II naik tahta, dibuatlah perjanjian-perjanjian baru yang lebih
mengikat. Pertahanan Mataram yang lemah mengakibatkan Amangkurat II terpaksa
menerima perjanjian tersebut. Selain itu, VOC juga mengancam akan membawa
kembali Amangkurat I apabila perjanjian tersebut tidak ditandatangani. Pangeran Puger adik dari Amangkurat II, tidak
menerima hal tersebut dan kemudian melakukan perlawanan dan diangkat pula
menjadi Susuhunan oleh para pengikutnya. Sedangkan itu, Amangkurat I mengembara
dari satu daerah ke daerah lainnya dalam keadaan sakit akibat tekanan jiwa yang
dialaminya, karena kebesaran Mataram menjadi hancur-lebur di tangannya, apalagi
ia merasa dalam keadaan tersebut sangat membutuhkan Agama Islam sebagai
pegangan hidup, namun para Ulama sudah habis dia bunuh. Pada akhirnya, karena
sakit kerasnya tersebut, sesampainya di daerah bernama Wonoyoso beliau wafat
dan dikuburkan di daerah Tegal, di suatu tempat bernama Tegal Wangi atau Tegal
Harum.
|
Trunojoyo |
Setelah VOC berhasil mengambil alih kekuasaan yang ada
di Mataram, maka dimulailah gerakan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan
oleh Trunojoyo, Karaeng Galesong dan Pangeran Giri. Karena bala bantuan yang
terus-menerus datang dari Batavia, semakin lama posisi Trunojoyo mulai
terdesak, tetapi bukan karena tentara VOC, melainkan oleh Aru Palaka yang
didatangkan oleh VOC dari Makassar. Setelah Aru Palaka mengalahkan Karaeng
Galesong, maka terbukalah jalan untuk VOC yang kemudian berhasil merebut daerah
Porong sanpai ke Ngantang di Timur Laut. Trunojoyo yang terdesak kemudian
bertahan di lereng Gunung Kelud. VOC kemudian mengirimkan Kapten Jongker seorang
tentara keturunan Ambon untuk mengepung Trunojoyo. Karena pengepungan yang
dilakukan oleh Kapten Jongker, lama kelamaan perbekalan trunojoyo menjadi habis
sehingga pertahanannya mulai lemah. Dalam kondisi terjepit seperti itu,
Trunojoyo mengirimkankan utusannya dengan membawa kerisnya kepada Kapten
Jongker sebagai tanda menyerah pada tanggal 27 Desember 1679. Dalam suratnya
Trunojoyo berkata “Saya serahkan diriku kepadamu Kapten, karena aku lihat
engkau seorang satria yang kuat memegang janji. Aku hanya menyerah kepadamu,
bukan kepada Susuhunan. Engkau harus memperlakukanku sebagai tawanan perang”.
Pada awalnya Kapten Jongker dapat menepati janjinya, namun janjinya tersebut
tidak dapat dipertahankannya karena desakan VOC yang menyuruh untuk menyerahkan
Trunojoyo kepada VOC dan selanjutkan akan diserahkan kepada Amangkurat II. Saat
Trunojoyo dibawa ke Mataram dan menghadap kepada Susuhunan, dengan sigap
Amangkurat II menikam Trunojoyo tepat dikerongkongannya dengan menggunakan
kerisnya sendiri dihadapan semua orang yang hadir di dalam Keraton. Sedangkan
Kapten Jongker pemuda Islam keturunan Ambon, merasa ksakit hatinya melihat
sikap pengecut yang diperlihatkan oleh Amangkurat II yang tega membunuh orang
yang sudah menyerahkan diri. Kapten Jongker merasa dirinya gagal dalam memenuhi
janjinya kepada Trunojoyo, sehingga 10 tahun kemudian Jongkerpun dihukum mati
VOC karena terlibat dalam pemberontakan di Batavia pada tahun 1798. Selain
membunuh Trunojoyo, Amangkurat II juga membunuh Pangeran Giri bersama dengan semua
keturunannya tanpa tersisa, keris nenek moyangnya yang digunakan untuk melawan
kerajaan Majapahit dirampas oleh Amangkurat II.
Demikianlah sejarah perjuangan Islam di Nusantara pada
abad ke-17. Semenjak saat itu, kekuasaan VOC semakin tertanam kuat atas
Kerajaan Mataram dan seluruh tanah Jawa, sehingga kemudian masih muncul
beberapa kali pemberontakan baik di Jawa Barat (Pangeran Purbaya, Kiyai Topo)
atau di Jawa Timur (Untung Suropati). Sejak saat itu, para pujangga bekerja
keras untuk membuat sajak, gending maupun tembang untuk menghina para Ulama,
mengolok-olok sorbannya, sehingga muncul istilah “Mutihan” dan “Ngabangan”.
Karena merasa hanya menjadi bahan ejekan, para Ulama menyingkir ke daerah
pesisir seperti Jawa Timur dan Madura, sehingga banyak di daerah tersebut
berdiri pondok-pondok persantren tempat para santri untuk belajar. Waktu terus
berjalan, walaupun banyak upaya untuk membuat Islam hanya sebagai agama yang
diritualkan bukannya menjadi dasar dan pegangan hidup yang sejati, namun
pelopor penegakan syariat Islam yang kembali memakai pakaian yang dahulu
menjadi bahan ejekan yaitu jubbah dan sorban, rambut dicukur rapid dan
menggunakan kopiah putih dengan keris tersisip di pinggang dan tasbih di tangan
bersama pedang, ia masih keturunan Amangkurat dan Sultan Agung yakni Pangeran
Amiril Mukminin Abdul Hamid Diponegoro yang dibantu oleh kiyai Mojo. Walaupun berusaha
disingkirkan di Jawa Tengah, namun kebangkitan perjuangan Islam dipelopori oleh
seorang anak bangsawan yakni Haji Oemar Said Cokroaminoto. Selain itu, dari
kalangan “abdi dalem” Keraton Yogyakarta, yakni Kiyai Haji Ahmad Dahlan yang
mendirikan Muhammadiyah. Itulah Mu’jizat dari Islam, meskipun dia dihalangi dan
dicoba untuk dihancurkan, kadang-kadang keturunann dari yang menghalanginya itu
menjadi pembela daripada apa yang dahulu dihalangi oleh para leluhurnya.
* Judul asli Islam di Madura bagian Pertama, Hamka (1982), Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta:
Pustaka Panjimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar